Apa kesalahanku? Kenapa harus jadi begini? Kenapa?
***
“Tasya, kita satu sekolah!” ujarku sangat antusias di telepon. Seseorang di
seberang sana hanya tertawa senang mendengarnya.
Malam itu aku menyalakan komputerku dan menyambungkannya ke internet. Aku
membuka website salah satu sekolah ternama untuk melihat pengumuman PPDB. Dan
syukurlah aku menemukan namaku di sana. Tapi yang membuatku lebih bahagia
adalah aku akhirnya bisa satu sekolah dengan teman dekatku, yaitu Tasya.
Walau kami tidak pernah satu sekolah sebelumnya, tapi kami cukup dekat. Itu
karena beberapa tahun yang lalu Tasya adalah tetangga sebelah rumahku. Semenjak
itu kami dekat, tapi sekitar dua tahun kemudian dia pindah di blok yang
berbeda. Walau rumah kami tidak sedekat dulu tapi kami masih menjaga hubungan
baik lewat sms, telepon, jejaring sosial, atau sesekali kita saling mengunjungi
satu sama lain. Selain itu, Tasya juga teman satu lesku. Dan sekarang dia
adalah teman satu sekolahku.
Beberapa minggu kemudian, tahun ajaran baru dimulai. Aku tidak menyangka
kalau ternyata aku juga satu kelas dengan Tasya. Aku dan Tasya semakin senang.
Dan kita semakin dekat saja karena kami berangkat dan pulang sekolah bersama
dengan motorku. Aku juga duduk satu bangku dengannya. Saat itu kami benar-benar
dekat.
***
“Ma, aku berangkat dulu ya.” Kucium tangan ibuku seraya berjalan keluar
rumah.
“Bareng Tasya lagi?” tanya ibuku.
“Iya ma.”
“Yang nyetir kamu aja, jangan Tasya ya. Dia kalau nyetir kenceng.”
Aku hanya mengangguk dan sibuk mengeluarkan motorku. Sebenarnya Tasya lah
yang selalu menyetir saat pulang. Itu karena dia yang menawarkan dan juga
karena jalan pulang selalu ramai jadi aku memintanya untuk menyetir. Aku tak
tahu apa dia akan menyetir lagi saat pulang, entahlah.
Di sekolah, aku tidak berani bilang ke Tasya kalau dia tidak boleh lagi
menyetir motorku. Aku tidak memberitahunya apa-apa. Hari pun kami lalui seperti
biasa. Menyenangkan, selalu penuh percakapan dan tawa. It was like that.
“Sya, temenin aku ke kamar mandi lagi yuk.” Ajakku.
“Hah? Ke kamar mandi lagi? Ngapain?”
“Hehe, kebelet.”
“Huu. Dari tadi kebelet mulu. Yaudah, ayok.”
Aku tipe orang yang mudah buang air kecil. Dan kamar mandi perempuan di
sekolahku terbilang cukup jauh dari kelasku. Maka dari itu aku selalu minta
antar Tasya. Dan Tasya lah satu-satunya orang yang setia dan sedia mengantarku
bolak-balik ke kamar mandi. Dia memang teman terbaikku.
Ingatlah
saat itu kau sangat pedili padaku. Bahkan hanya untuk menemaniku ke kamar
mandi. Kau selalu menemaniku kemanapun.
***
Sudah beberapa hari sejak ibuku menasehati agar Tasya tidak menyetir
motorku, tapi Tasya tetap yang menyetir saat pulang sekolah. Aku sadar kalau
Tasya orangnya suka tantangan, maka dari itu kalau mengendarai motor biasanya
kencang. Aku tahu itu, tapi menurutku dia lebih mahir mengendari motor
dibanding aku. Dan aku pikir ibuku tidak akan pernah tahu, karena kami selalu
ke rumahnya dulu barulah aku pulang sendiri ke rumah dengan motorku.
Tapi aku salah. Suatu hari, aku dan Tasya dalam perjalanan pulang menuju
rumahnya. Tapi kami berpapasan dengan ibuku yang akan berangkat menjemput
adikku. Di jalan ibuku tidak terlihat marah. Tapi saat di rumah, aku dimarahi.
Semenjak itu aku tidak boleh memberi Tasya tumpangan, atau aku tidak boleh bawa
motor sama sekali. Bahkan sebenarnya aku tidak boleh duduk sebangku dengan
Tasya lagi. Entah, tapi ibuku jadi tidak suka dengan Tasya.
Maaf kalau ibuku sepertinya tidak suka denganmu.
Tapi karena itukah kau menjauhiku?
***
Aku ingat satu hari sebelum masuk sekolah hari pertama, ada temanku yang
bilang kalau aku akan satu kelas dengan seorang cowok yang tinggi dan ganteng.
Aulia, temanku itu bilang kalau namanya Danny. Aku penasaran bagaimana rupa
cowok itu, maka aku mengingat baik-baik namanya untuk aku cari besoknya di
kelas.
Keesokan harinya. Aku sudah duduk rapi di bangku paling depan dengan Tasya
sebagai teman sebangkuku. Kami bercakap-cakap tentang sekolah dan teman-teman
baru. Dan saat kami sibuk bercakap, tiba-tiba seorang cowok tinggi dan -menurutku-
ganteng , memasuki kelas dengan kerennya –cara jalannya-.
“Sya... sya!” aku seketika terpesona dan menyolek lengan Tasya dengan
paniknya.
“Apa sih?”
“Itu... Itu yang dikasih tau temenku!”
“Apaan?”
“Kemarin Aulia bilang kalau kita bakal satu kelas sama cowok tinggi dan
ganteng. Nah, itu cowok yang paling ganteng deh di kelas kita.”
“Hmmm... Lumayan juga sih.” Tasya merespon singkat.
Aku belum tahu siapa namanya, tapi aku yakin kalau dialah yang namanya
Danny. Ternyata yang kudapati bukan dia yang namannya Danny. Memang benar Danny
yang asli tinggi dan ganteng, tapi masih kalah ganteng dengan cowok yang satu
itu. Saat nama Rifqi dipanggil, dia mengangkat tangan. Jadi, namanya Rifqi.
Aku ingat suatu hari kau pernah memuji Rifqi. Kau
bilang kalau dia punya alis yang bagus dan senyum yang manis. Apa masalahnya
karena dia?
***
“Tiga hari lagi ada pondok ramadhan ya?” tanya Tasya.
“Iya, katanya kelasnya diacak sementara.”
Saat itu kami sedang bercakap-cakap tentang pondok ramadhan di kelas.
Hingga tiba-tiba ketua kelas kami berbicara di depan kelas tentang acara buka
bersama. Saat itu kami baru sekitar sebulan lebih di sekolah itu, tapi tahun
ajaran baru dimulai kebetulan saat bulan puasa. Tidak heran kalau kelas kami
merencanakan untuk buka bersama.
Ketua kelas kami bilang kalau kita akan ada buka bersama lusa, sehari
sebelum pondok ramadhan. Awalnya Tasya tidak mau ikut karena malas, tapi aku
memaksa dan menawarkan tumpangan padanya. Dan akhirnya ia mau ikut.
Sorenya sebelum acara buka bersama, aku tidak tahan memendam perasaan
sukaku ke Rifqi. Memang, selama ini belum ada yang tahu. Maka aku mengirim sms
ke Tasya. Aku cerita blak-blakan tentang perasaanku ini. Mungkin rasa suka pada
pandangan pertama.
Tasya merespon curhat dadakanku itu lewat sms. Dia juga masih setia
membalas sms-sms ku saat itu tentang Rifqi. Bahkan menurutku dia mendukung jika
aku mengejar Rifqi.
Jam 5 sore, aku dan Tasya sudah tiba di rumah makan tempat teman-teman
sekelas akan berkumpul untuk bukber. Aku tidak mendapati sosok Rifqi. Aku
berkali-kali memancing Tasya untuk membicarakan tentang Rifqi, tapi dia tidak
merespon. Akhirnya sekitar pukul 6, Rifqi baru datang. Aku merengek ke Tasya
supaya meresponku. Tapi Tasya tetap tidak merespon dan justru mengalihkan
pembicaraan.
Dan semenjak malam itu, keesokan harinya aku mulai jarang berhubungan
dengan Tasya.
***
Sya, kamu marah sama aku?
Sudah beberapa hari ini, aku tidak pernah kontak dengan Tasya. Entah itu
sms, telpon, mention, wall fb, bahkan sapaanku pun tidak dibalas. Ada yang
aneh. Ya, dia marah padaku. Tapi, aku tidak merasa punya salah. Apa yang telah aku
lakukan?
Aku cemburu melihat Tasya dekat dengan teman lamanya. Selain aku, Tasya
juga dekat dengan teman lamanya di SMP dulu yaitu Fika. Kami bertiga sempat
dekat mengingat Fika dan aku adalah teman dekat Tasya. Tapi sudah tidak lagi,
Tasya hanya dekat dengan Fika, tidak denganku.
Memang adakalanya Tasya merespon perkataanku, tapi hanya respon singkat.
Hanya iya, atau tidak. Aku semakin merasa bersalah.
“Da, aku boleh minta tolong nggak?”
tanyaku pada Nada. Dia juga teman sekelasku, dia salah satu teman dekatku
selain Tasya di sekolah.
“Apa sih Lisa?”
“Tolong kamu kirim sms ke Tasya. Kalau dia nggak bales juga, berarti dia
nggak punya pulsa.”
“Oke, nanti pulang sekolah aku sms deh.”
Di rumah aku menunggu kabar dari Nada. Nada bilang smsnya juga tidak
dibalas. Hatiku sedikit lega, mungkin dia memang tidak punya pulsa.
Tapi masih ada satu masalah lagi. Kenapa Tasya tidak mengajakku
bicara? Akhirnya aku memberanikan diri
untuk bertanya langsung padanya.
“Nggak Lis, aku nggak marah kok. Kamu aja yang nggak ngajak aku ngomong.”
Itu alasannya. Aku pun berusaha membuka topik untuk membuatnya bicara seperti
dulu. Tapi tetap saja dia hanya menjawab singkat, tidak seramai dulu.
***
Sudah tiga kali aku bertanya pertanyaan yang sama, dan dijawab pula dengan
jawaban yang sama. Padahal aku sudah sering mengajaknya bicara, hanya dianya
saja yang kurang merespon. Aku putus asa, aku tidak tahu lagi harus melakukan
apa. Aku merasa patah hati. Bagiku patah hati karena Tasya lebih sakit
dibanding dengan cowok yang aku sukai atau cintai. Secinta apapun aku pada
mantan atau cowok manapun, aku lebih cinta Tasya. Ya, sahabat lebih penting
dibanding pacar –setidaknya menurutku-.
“Lis, kamu sama Tasya kenapa?” tanya Nada.
“Jangan tanya aku. Aku nggak tau.” Jawabku lemas.
“Tau nggak, dia juga agak jauh dari kita. Temen sekelasnya, semuanya.”
“Iya Lis, kita semua ngerasain kok.” Sahut Aya, teman sekelasku.
“Iya, tapi aku yang paling mengenaskan dari kalian.” Aku kesal.
“Mmm... Aku nggak tau apa masalahnya, tapi maaf aku pernah bohong ke kamu.”
“Hmm? Bohong apa?”
“Sebenarnya, waktu itu Tasya bales smsku. Dia nyuruh aku bilang ke kamu
kalau dia juga nggak bales smsku. Maaf ya aku udah bohong.”
Begitukah? Selama ini hanya smsku saja yang tidak dibalasnya?Aku semakin
patah hati. Aku mulai berfikir apa kesalahanku. Aku mulai ingat. Terakhir aku
berhubungan dekat dengan dia adalah saat bukber, dan setelah aku bercerita soal
perasaanku. Rifqi? Apa Rifqi penyebabnya? Jangan-jangan selama ini dia juga
menyukai Rifqi? Tapi aku kan cuma suka, aku tidak berani mengejarnya. Ya, aku
memang suka pada Rifqi. Tapi aku tidak berani mengejarnya, cukup dipendam dulu.
Apa dia marah hanya karena aku juga suka Rifqi? Tapi mungkinkah hanya karena
itu sampai-sampai dia memutuskan persahabatan kami? Aku juga tidak habis pikir.
Aku ingin bertanya, tapi aku sudah susah berbicara dengannya. Walau tak saling
bicara, anehnya dia tidak pindah ke bangku lain. Ya, dia tetap teman
sebangkuku. Hanya saja kami tak saling bicara. Mungkin ini karena aku tidak
menuruti perkataan ibuku. Harusnya memang aku tidak duduk sebangku dengan
Tasya.
***
Sudah berminggu-minggu. Aku benar-benar menyerah. Aku tidak tahu apa
salahku. Aku hanya menerka-nerka kesalahanku. Antara karena Tasya tahu kalau
ibuku tidak suka padanya, atau karena Rifqi. Yang pasti aku tahu kalau dia
tidak ingin didekati olehku. Maka aku tidak akan mendekati atau mengajaknya
bicara, mungkin dia hanya butuh jauh dariku untuk sementara.
Aku perhatikan sebenarnya Tasya juga sudah tidak dekat lagi dengan Fika.
Aku selalu bertemu Fika yang sendirian tanpa Tasya. Dan teman sekelas Fika juga
bilang padaku kalau Tasya dan Fika sudah jarang berhubungan. Aku merasa punya
teman yang senasib denganku. Perasaanku agak lega, setidaknya bukan cuma aku
yang diperlakukan sama oleh Tasya.
Tapi, aku masih memiliki ganjalan besar di hatiku. Aku tidak mau punya
musuh. Dan aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Kalau Tasya mengatakan
apa salahku, aku pasti akan berusaha memperbaiki kesalahanku itu. Tapi Tasya
menutup mulutnya rapat-rapat. Hanya tingkah laku aneh yang ditunjukannya.
“Lis, nih.” Entah karena ada angin atau apa, tiba-tiba Tasya memberiku
sebuah permen. Kulihat permen itu. Permen Thamarin. Jujur, aku benci rasa
permen itu. Tapi aku tersenyum bahagia karena Tasya yang memberinya.
Sikap Tasya saat itu sangat aneh. Dia memberiku permen dengan juteknya.
Tapi itu menunjukkan sedikit perubahannya menjadi baik padaku lagi. I hope
so.
“Iya ini di kali lalu ditambah.” Keesokan harinya setelah Tasya memberiku
permen, aku sedang mengerjakan tugas matematika bersama Nada. Awalnya Tasya dan
aku masih saling diam. Sampai akhirnya...
“Lis, bantuin aku ngerjain juga dong.” Mimpi! Aku pasti bermimpi! Tidak
mungkin Tasya yang mengatakan itu. Jantungku berdegub kencang. Aku lebih senang
mendengar suara Tasya dibanding suara cowok yang aku sukai walau cowok itu
sedang menembakku. Tasya lebih membuatku gugup!
“Eeee... Iya, sini.” Aku pun berpaling dari Nada dan mulai membantu Tasya
mengerjakan tugas MM.
***
“Aku salah apa sih?” sekali lagi aku menanyakan itu pada Tasya. Sudah
beberapa hari semenjak kami mulai berteman lagi.
“Kamu nggak salah apa-apa kok.”
“Ayolaaah. Aku tau kamu marah waktu itu.”
“Mmmm... Gini ya, Lis. Sebenarnya aku nggak marah, cuma lagi males aja.
Malah aku yang harusnya minta maaf soalnya aku yang salah, udah ninggalin
kamu.”
“Terus salahku apa?” tidak ada jawaban dari Tasya. Kulihat ia hanya
tersenyum.
“Yang pasti bukan karena Rifqi. Kamu nggak perlu tahu, aku aja yang salah
nilai kamu.” Dari mana dia tahu kalau aku mengira dia marah padaku karena
Rifqi? Tasya tersenyum puas dan meninggalkanku yang sangat penasaran sendirian.
Sampai sekarang, aku tidak pernah tahu apa salahku pada Tasya yang
membuatnya sempat memusuhiku saat itu. Tapi hal terpenting bukan itu. Yang
penting adalah kami bisa kembali berteman, bahkan bersahabat. Tasya adalah
orang terpenting setelah orangtua dan keluargaku.
Aku tidak tahu dan tidak peduli apa penyebabnya
hingga kau marah. Tapi yang pasti, tahukah kau? Aku telah mendapat yang aku
inginkan, yaitu Kau. Terimakasih telah menjadi temanku selama ini.
Masalah di cerpen ini adalah masalah nyata yang aku alami sekarang. Semoga ending di cerpen ini bisa terjadi juga di kejadian nyata :) a**l, makasih kamu sempet jadi temenku :')