Selasa, 04 September 2012

Dear, My Friend (short story)

Diposting oleh Debby Sylvania Harlian di 07.10 0 komentar


Apa kesalahanku? Kenapa harus jadi begini? Kenapa?
***
“Tasya, kita satu sekolah!” ujarku sangat antusias di telepon. Seseorang di seberang sana hanya tertawa senang mendengarnya.
Malam itu aku menyalakan komputerku dan menyambungkannya ke internet. Aku membuka website salah satu sekolah ternama untuk melihat pengumuman PPDB. Dan syukurlah aku menemukan namaku di sana. Tapi yang membuatku lebih bahagia adalah aku akhirnya bisa satu sekolah dengan teman dekatku, yaitu Tasya.
Walau kami tidak pernah satu sekolah sebelumnya, tapi kami cukup dekat. Itu karena beberapa tahun yang lalu Tasya adalah tetangga sebelah rumahku. Semenjak itu kami dekat, tapi sekitar dua tahun kemudian dia pindah di blok yang berbeda. Walau rumah kami tidak sedekat dulu tapi kami masih menjaga hubungan baik lewat sms, telepon, jejaring sosial, atau sesekali kita saling mengunjungi satu sama lain. Selain itu, Tasya juga teman satu lesku. Dan sekarang dia adalah teman satu sekolahku.
Beberapa minggu kemudian, tahun ajaran baru dimulai. Aku tidak menyangka kalau ternyata aku juga satu kelas dengan Tasya. Aku dan Tasya semakin senang. Dan kita semakin dekat saja karena kami berangkat dan pulang sekolah bersama dengan motorku. Aku juga duduk satu bangku dengannya. Saat itu kami benar-benar dekat.
***
“Ma, aku berangkat dulu ya.” Kucium tangan ibuku seraya berjalan keluar rumah.
“Bareng Tasya lagi?” tanya ibuku.
“Iya ma.”
“Yang nyetir kamu aja, jangan Tasya ya. Dia kalau nyetir kenceng.”
Aku hanya mengangguk dan sibuk mengeluarkan motorku. Sebenarnya Tasya lah yang selalu menyetir saat pulang. Itu karena dia yang menawarkan dan juga karena jalan pulang selalu ramai jadi aku memintanya untuk menyetir. Aku tak tahu apa dia akan menyetir lagi saat pulang, entahlah.
Di sekolah, aku tidak berani bilang ke Tasya kalau dia tidak boleh lagi menyetir motorku. Aku tidak memberitahunya apa-apa. Hari pun kami lalui seperti biasa. Menyenangkan, selalu penuh percakapan dan tawa. It was like that.
“Sya, temenin aku ke kamar mandi lagi yuk.” Ajakku.
“Hah? Ke kamar mandi lagi? Ngapain?”
“Hehe, kebelet.”
“Huu. Dari tadi kebelet mulu. Yaudah, ayok.”
Aku tipe orang yang mudah buang air kecil. Dan kamar mandi perempuan di sekolahku terbilang cukup jauh dari kelasku. Maka dari itu aku selalu minta antar Tasya. Dan Tasya lah satu-satunya orang yang setia dan sedia mengantarku bolak-balik ke kamar mandi. Dia memang teman terbaikku.
 Ingatlah saat itu kau sangat pedili padaku. Bahkan hanya untuk menemaniku ke kamar mandi. Kau selalu menemaniku kemanapun.
***
Sudah beberapa hari sejak ibuku menasehati agar Tasya tidak menyetir motorku, tapi Tasya tetap yang menyetir saat pulang sekolah. Aku sadar kalau Tasya orangnya suka tantangan, maka dari itu kalau mengendarai motor biasanya kencang. Aku tahu itu, tapi menurutku dia lebih mahir mengendari motor dibanding aku. Dan aku pikir ibuku tidak akan pernah tahu, karena kami selalu ke rumahnya dulu barulah aku pulang sendiri ke rumah dengan motorku.
Tapi aku salah. Suatu hari, aku dan Tasya dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Tapi kami berpapasan dengan ibuku yang akan berangkat menjemput adikku. Di jalan ibuku tidak terlihat marah. Tapi saat di rumah, aku dimarahi. Semenjak itu aku tidak boleh memberi Tasya tumpangan, atau aku tidak boleh bawa motor sama sekali. Bahkan sebenarnya aku tidak boleh duduk sebangku dengan Tasya lagi. Entah, tapi ibuku jadi tidak suka dengan Tasya.
Maaf kalau ibuku sepertinya tidak suka denganmu. Tapi karena itukah kau menjauhiku?
***
Aku ingat satu hari sebelum masuk sekolah hari pertama, ada temanku yang bilang kalau aku akan satu kelas dengan seorang cowok yang tinggi dan ganteng. Aulia, temanku itu bilang kalau namanya Danny. Aku penasaran bagaimana rupa cowok itu, maka aku mengingat baik-baik namanya untuk aku cari besoknya di kelas.
Keesokan harinya. Aku sudah duduk rapi di bangku paling depan dengan Tasya sebagai teman sebangkuku. Kami bercakap-cakap tentang sekolah dan teman-teman baru. Dan saat kami sibuk bercakap, tiba-tiba seorang cowok tinggi dan -menurutku- ganteng , memasuki kelas dengan kerennya –cara jalannya-.
“Sya... sya!” aku seketika terpesona dan menyolek lengan Tasya dengan paniknya.
“Apa sih?”
“Itu... Itu yang dikasih tau temenku!”
“Apaan?”
“Kemarin Aulia bilang kalau kita bakal satu kelas sama cowok tinggi dan ganteng. Nah, itu cowok yang paling ganteng deh di kelas kita.”
“Hmmm... Lumayan juga sih.” Tasya merespon singkat.
Aku belum tahu siapa namanya, tapi aku yakin kalau dialah yang namanya Danny. Ternyata yang kudapati bukan dia yang namannya Danny. Memang benar Danny yang asli tinggi dan ganteng, tapi masih kalah ganteng dengan cowok yang satu itu. Saat nama Rifqi dipanggil, dia mengangkat tangan. Jadi, namanya Rifqi.
Aku ingat suatu hari kau pernah memuji Rifqi. Kau bilang kalau dia punya alis yang bagus dan senyum yang manis. Apa masalahnya karena dia?
***
“Tiga hari lagi ada pondok ramadhan ya?” tanya Tasya.
“Iya, katanya kelasnya diacak sementara.”
Saat itu kami sedang bercakap-cakap tentang pondok ramadhan di kelas. Hingga tiba-tiba ketua kelas kami berbicara di depan kelas tentang acara buka bersama. Saat itu kami baru sekitar sebulan lebih di sekolah itu, tapi tahun ajaran baru dimulai kebetulan saat bulan puasa. Tidak heran kalau kelas kami merencanakan untuk buka bersama.
Ketua kelas kami bilang kalau kita akan ada buka bersama lusa, sehari sebelum pondok ramadhan. Awalnya Tasya tidak mau ikut karena malas, tapi aku memaksa dan menawarkan tumpangan padanya. Dan akhirnya ia mau ikut.
Sorenya sebelum acara buka bersama, aku tidak tahan memendam perasaan sukaku ke Rifqi. Memang, selama ini belum ada yang tahu. Maka aku mengirim sms ke Tasya. Aku cerita blak-blakan tentang perasaanku ini. Mungkin rasa suka pada pandangan pertama.
Tasya merespon curhat dadakanku itu lewat sms. Dia juga masih setia membalas sms-sms ku saat itu tentang Rifqi. Bahkan menurutku dia mendukung jika aku mengejar Rifqi.
Jam 5 sore, aku dan Tasya sudah tiba di rumah makan tempat teman-teman sekelas akan berkumpul untuk bukber. Aku tidak mendapati sosok Rifqi. Aku berkali-kali memancing Tasya untuk membicarakan tentang Rifqi, tapi dia tidak merespon. Akhirnya sekitar pukul 6, Rifqi baru datang. Aku merengek ke Tasya supaya meresponku. Tapi Tasya tetap tidak merespon dan justru mengalihkan pembicaraan.
Dan semenjak malam itu, keesokan harinya aku mulai jarang berhubungan dengan Tasya.
***
Sya, kamu marah sama aku?
Sudah beberapa hari ini, aku tidak pernah kontak dengan Tasya. Entah itu sms, telpon, mention, wall fb, bahkan sapaanku pun tidak dibalas. Ada yang aneh. Ya, dia marah padaku. Tapi, aku tidak merasa punya salah. Apa yang telah aku lakukan?
Aku cemburu melihat Tasya dekat dengan teman lamanya. Selain aku, Tasya juga dekat dengan teman lamanya di SMP dulu yaitu Fika. Kami bertiga sempat dekat mengingat Fika dan aku adalah teman dekat Tasya. Tapi sudah tidak lagi, Tasya hanya dekat dengan Fika, tidak denganku.
Memang adakalanya Tasya merespon perkataanku, tapi hanya respon singkat. Hanya iya, atau tidak. Aku semakin merasa bersalah.
 “Da, aku boleh minta tolong nggak?” tanyaku pada Nada. Dia juga teman sekelasku, dia salah satu teman dekatku selain Tasya di sekolah.
“Apa sih Lisa?”
“Tolong kamu kirim sms ke Tasya. Kalau dia nggak bales juga, berarti dia nggak punya pulsa.”
“Oke, nanti pulang sekolah aku sms deh.”
Di rumah aku menunggu kabar dari Nada. Nada bilang smsnya juga tidak dibalas. Hatiku sedikit lega, mungkin dia memang tidak punya pulsa.
Tapi masih ada satu masalah lagi. Kenapa Tasya tidak mengajakku bicara?  Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya langsung padanya.
“Nggak Lis, aku nggak marah kok. Kamu aja yang nggak ngajak aku ngomong.” Itu alasannya. Aku pun berusaha membuka topik untuk membuatnya bicara seperti dulu. Tapi tetap saja dia hanya menjawab singkat, tidak seramai dulu.
***
Sudah tiga kali aku bertanya pertanyaan yang sama, dan dijawab pula dengan jawaban yang sama. Padahal aku sudah sering mengajaknya bicara, hanya dianya saja yang kurang merespon. Aku putus asa, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Aku merasa patah hati. Bagiku patah hati karena Tasya lebih sakit dibanding dengan cowok yang aku sukai atau cintai. Secinta apapun aku pada mantan atau cowok manapun, aku lebih cinta Tasya. Ya, sahabat lebih penting dibanding pacar –setidaknya menurutku-.
“Lis, kamu sama Tasya kenapa?” tanya Nada.
“Jangan tanya aku. Aku nggak tau.” Jawabku lemas.
“Tau nggak, dia juga agak jauh dari kita. Temen sekelasnya, semuanya.”
“Iya Lis, kita semua ngerasain kok.” Sahut Aya, teman sekelasku.
“Iya, tapi aku yang paling mengenaskan dari kalian.” Aku kesal.
“Mmm... Aku nggak tau apa masalahnya, tapi maaf aku pernah bohong ke kamu.”
“Hmm? Bohong apa?”
“Sebenarnya, waktu itu Tasya bales smsku. Dia nyuruh aku bilang ke kamu kalau dia juga nggak bales smsku. Maaf ya aku udah bohong.”
Begitukah? Selama ini hanya smsku saja yang tidak dibalasnya?Aku semakin patah hati. Aku mulai berfikir apa kesalahanku. Aku mulai ingat. Terakhir aku berhubungan dekat dengan dia adalah saat bukber, dan setelah aku bercerita soal perasaanku. Rifqi? Apa Rifqi penyebabnya? Jangan-jangan selama ini dia juga menyukai Rifqi? Tapi aku kan cuma suka, aku tidak berani mengejarnya. Ya, aku memang suka pada Rifqi. Tapi aku tidak berani mengejarnya, cukup dipendam dulu.
Apa dia marah hanya karena aku juga suka Rifqi? Tapi mungkinkah hanya karena itu sampai-sampai dia memutuskan persahabatan kami? Aku juga tidak habis pikir. Aku ingin bertanya, tapi aku sudah susah berbicara dengannya. Walau tak saling bicara, anehnya dia tidak pindah ke bangku lain. Ya, dia tetap teman sebangkuku. Hanya saja kami tak saling bicara. Mungkin ini karena aku tidak menuruti perkataan ibuku. Harusnya memang aku tidak duduk sebangku dengan Tasya.
***
Sudah berminggu-minggu. Aku benar-benar menyerah. Aku tidak tahu apa salahku. Aku hanya menerka-nerka kesalahanku. Antara karena Tasya tahu kalau ibuku tidak suka padanya, atau karena Rifqi. Yang pasti aku tahu kalau dia tidak ingin didekati olehku. Maka aku tidak akan mendekati atau mengajaknya bicara, mungkin dia hanya butuh jauh dariku untuk sementara.
Aku perhatikan sebenarnya Tasya juga sudah tidak dekat lagi dengan Fika. Aku selalu bertemu Fika yang sendirian tanpa Tasya. Dan teman sekelas Fika juga bilang padaku kalau Tasya dan Fika sudah jarang berhubungan. Aku merasa punya teman yang senasib denganku. Perasaanku agak lega, setidaknya bukan cuma aku yang diperlakukan sama oleh Tasya.
Tapi, aku masih memiliki ganjalan besar di hatiku. Aku tidak mau punya musuh. Dan aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Kalau Tasya mengatakan apa salahku, aku pasti akan berusaha memperbaiki kesalahanku itu. Tapi Tasya menutup mulutnya rapat-rapat. Hanya tingkah laku aneh yang ditunjukannya.
“Lis, nih.” Entah karena ada angin atau apa, tiba-tiba Tasya memberiku sebuah permen. Kulihat permen itu. Permen Thamarin. Jujur, aku benci rasa permen itu. Tapi aku tersenyum bahagia karena Tasya yang memberinya.
Sikap Tasya saat itu sangat aneh. Dia memberiku permen dengan juteknya. Tapi itu menunjukkan sedikit perubahannya menjadi baik padaku lagi. I hope so.
“Iya ini di kali lalu ditambah.” Keesokan harinya setelah Tasya memberiku permen, aku sedang mengerjakan tugas matematika bersama Nada. Awalnya Tasya dan aku masih saling diam. Sampai akhirnya...
“Lis, bantuin aku ngerjain juga dong.” Mimpi! Aku pasti bermimpi! Tidak mungkin Tasya yang mengatakan itu. Jantungku berdegub kencang. Aku lebih senang mendengar suara Tasya dibanding suara cowok yang aku sukai walau cowok itu sedang menembakku. Tasya lebih membuatku gugup!
“Eeee... Iya, sini.” Aku pun berpaling dari Nada dan mulai membantu Tasya mengerjakan tugas MM.
***
“Aku salah apa sih?” sekali lagi aku menanyakan itu pada Tasya. Sudah beberapa hari semenjak kami mulai berteman lagi.
“Kamu nggak salah apa-apa kok.”
“Ayolaaah. Aku tau kamu marah waktu itu.”
“Mmmm... Gini ya, Lis. Sebenarnya aku nggak marah, cuma lagi males aja. Malah aku yang harusnya minta maaf soalnya aku yang salah, udah ninggalin kamu.”
“Terus salahku apa?” tidak ada jawaban dari Tasya. Kulihat ia hanya tersenyum.
“Yang pasti bukan karena Rifqi. Kamu nggak perlu tahu, aku aja yang salah nilai kamu.” Dari mana dia tahu kalau aku mengira dia marah padaku karena Rifqi? Tasya tersenyum puas dan meninggalkanku yang sangat penasaran sendirian.
Sampai sekarang, aku tidak pernah tahu apa salahku pada Tasya yang membuatnya sempat memusuhiku saat itu. Tapi hal terpenting bukan itu. Yang penting adalah kami bisa kembali berteman, bahkan bersahabat. Tasya adalah orang terpenting setelah orangtua dan keluargaku.
Aku tidak tahu dan tidak peduli apa penyebabnya hingga kau marah. Tapi yang pasti, tahukah kau? Aku telah mendapat yang aku inginkan, yaitu Kau. Terimakasih telah menjadi temanku selama ini.

Masalah di cerpen ini adalah masalah nyata yang aku alami sekarang. Semoga ending di cerpen ini bisa terjadi juga di kejadian nyata :) a**l, makasih kamu sempet jadi temenku :')



 

My Blog, My Own Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea